Kalau mendengar Sukabumi, maka tentu identik dengan suasana yang segar. Pantas saja demikian karena secara geografis Sukabumi diapit oleh gunung Pangrango, gunung Endut dan gunung Salak. Udaranya yang segar dan sumber mata airnya yang jernih menggoda investor-investor untuk mengembangkan bisnis industri air minum kemasan. Tentu merek semisal Aqua, Vit dan lain sebagainya cukup melekat dengan kita karena kemasan yang praktis membuat masyarakat mengkonsumsinya. Dari sana ada temuan Tim Metro Realitas yang menemukan babak baru dimulainya eksploitasi pemanfaatan air tanah. Akibat dari eksploitasi untuk kepentingan komersil air kemasan yang dilakukan oleh puluhan perusahaan air minum, cadangan air tanah menjadi tipis sehingga warga kesusahan air bersih.

Air menjadi susah dan berwarna kekuningan. Keadaan seperti ini sama dengan ungkapan ayam mati di lumbung padi. Masyarakat sekitar yang harusnya berkecukupan dengan air bersih yang melimpah ruah, justru sengsara akibat eksploitasi tersebut. Air untuk minum, masak dan mencuci harus mengambil dari genangan tempat air dari air hujan. Sungguh ironis memang. Pemda nyaris tidak bergigi menghadapi monster-monster perusahaan asing yang bemodal besar. Sebut saja salah satu perusahaan asing tersebut adalah PT. Aqua Golden Misissippi yang sudah dimiliki oleh grup Danone asal Perancis. Aneh memang, seakan-akan bumi kita ini sudah tergadaikan dan kita nyaris tak bisa berbuat banyak. Dari uraian tersebut, tentu harus diketauhi bahwa ada masalah besar dengan penataan sumber daya air di negara ini. Kalau dirunut, bumi ini dan isi yang ada di dalamnya bukan hanya sebagai Common Property tetapi juga sebagai Heritage of Mankind. Oleh karena itu, selain untuk kepentingan manusia juga harus dijaga keberlangsungannya. Sharing di antara keduanya menjadi mutlak hukumnya karena tentu sumber daya air yang diambil ada keterbatasannya (limitation) guna memenuhi kebutuhan (need) dan keinganan (want) manusia yang berpotensi menimbulkan conflict of interest. Di sinilah kiranya keperluan yang sangat mendesak penegakkan hukum lingkungan untuk berfungsi bagaimana mengatur (how to manage) dan meregulasi (how to regulate) konflik-konflik antara kebutuhan manusia dan kepentingan komersil. Penegakkan hukum sangat dibutuhkan untuk menemukan pelanggaran hukum sebagai bukti (legal evidence) dan dampak lingkungan (sciencetific evidence)yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terhadap praktek eksploitasi air tanah. Prinsip deteksi dini (precautionery principle) terdahadap dampak negatif lingkungan menjadi titik tolok landasan penegakkan hukum. Akhirnya, Bumi cukup untuk memenuhi seluruh umat manusia tapi tidak cukup untuk melayani satu orang yang rakus (Mahatma Gandhi).