Wabah Covid 19 telah menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia sehingga WHO menyatakan bahwa fenomena ini sebagai sebuah Pandemi. Akibat yang ditimbulkan bukan hanya pada kesehatan jiwa manusia yang terjangkit virus ini bahkan sampai menelan jutaan korban jiwa dan kondisi ekonomi yang sangat terdampak. Akibat Pandemi ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi ruang gerak penularan Covid 19 dengan berbagai cara, termasuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB ini adalah pembatasan ruang gerak masyarakat untuk melakukan aktifitasnya di luar rumah demi upaya social distancing/physical distancing.Imbas PSBB, banyak perusahaan yang harus tutup, karyawan di rumahkan bahkan ada yang diPHK, dan roda ekonomi sudah barang tentu berhenti sehingga mengakibatkan kurva kemiskinan semakin naik. Namun, di masa ini secara resmi pemerintah masih mengizinkan sektor-sektor industri yang diperbolehkan tetap beroperasi di tengah-tengah ancaman penularan Covid 19. Sektor-sektor tersebut antara lain: Sektor kesehatan, pangan, makanan, dan minuman, energi, komunikasi, jasa, media komunikasi, keuangan perbankan termasuk pasar modal, logistik dan distribusi barang, retail seperti warung, toko kelontong dan industri strategis lainnya.

Para pekerja yang bekerja di 8 sektor tersebut mau tidak mau, suka tidak suka harus rela masuk kerja seperti biasanya (work from office/WFO) di kala sektor-sektor lain harus berhenti beroperasi dan karyawannya bekerja dari rumah (work from home/WFH. Pekerja yang tetap masuk selama masa PSBB secara hukum harus dilindungi dan tidak boleh diabaikan hak kesehatannya oleh Pengusaha/Pemberi Kerja yang rentan karena tetap bekerja di masa yang sulit ini.

Secara filosofis, setiap orang yang bekerja di Indonesia harus dilindungi oleh negara karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mempunyai tujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara “optimal” dan “manusiawi”. Kata “optimal” dan “manusiawi” ini adalah kata kunci bagi hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja dapat berjalan dalam koridor etika, kepatutan dan hukum. Tidak boleh ada eksploitasi pekerja di masa yang sulit ini (neo-perbudakan). Bagi yang WFH harus tetap diberikan gajinya dan jikalau memungkinkan maka pekerja diizinkan untuk bekerja dari rumah/WFH. Namun, apabila memang terpaksa harus masuk bekerja karena masuk dalam 8 sektor industri yang harus tetap beroperasi, maka pengusaha harus secara penuh tanggungjawab memperhatikan hak-hak pekerja yang WFO terutama hak kesehatan bagi pekerja yang dijamin dalam konstitusi kita.

Secara yuridis, jaminan pemberian hak kesehatan pekerja diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pertama, Pasal 166 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ayat (1): “Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.” Ayat (2): “Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Kedua, Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa: “Pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.”

Dua Undang-Undang di atas telah cukup untuk memberikan legitimasi bahwa bagi pengusaha yang masih menerapkan WFO di masa pandemi diwajibkan untuk secara konsisten memenuhi hak-hak kesehatan pekerjanya. Alat-alat yang mendukung kesehatan bagi pekerja harus dilengkapi di tempat kerja seperti lingkungan kerja yang steril dan higienis, tersedianya sarung tangan, hand sanitizer, masker, thermogun, alat disenfectan, obat-obatan, multivitamin untuk imunitas tubuh, sabun dan tempat cuci tangan yang memadai, dan lain-lain sesuai dengan protocol pencegahan virus Covid 19 yang ditetapkan oleh WHO. Pemenuhan hak kesehatan ini juga diperkuat dengan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Menteri Tenaga Kerja memerintahkan setiap pimpinan perusahaan untuk melakukan antisipasi penyebaran Covid-19 pada pekerja/buruh dengan melakukan tindakan pencegahan seperti perilaku hidup bersih dan sehat. Jika terdapat pekerja/buruh atau pengusaha yang diduga sakit akibat Covid-19, maka harus dilakukan langkah-langkah penanganan sesuai dengan standar kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.

Upaya-upaya di atas merupakan syarat utama demi keberlangsungan hubungan kerja yang Pancasilais agar tercipatanya hubungan saling menguntungkan antara pengusaha dan pekerja. Pekerja adalah aset bagi perusahaan dan karenanya harus diberikan perlindungan yang terdiri atas perlindungan sosial, perlindungan teknis dan perlindungan ekonomi di mana hak kesehatan adalah bagian dari perlindungan sosial. Apalagi, Hak kesehatan pekerja merupakan salah satu jenis dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dipenuhi, dihormati dan dijamin oleh negara tanpa diminta sekalipun. HAM adalah kodrat seseorang sebagai manusia dari Tuhannya yang harus diberikan oleh negara dan entitas apapun termasuk entitas bisnis. Kegiatan bisnis dan industri harus juga mengedepankan penghormatan (to respect) terhadap prinsip-prinsip HAM.

 

Oleh:

Indra Rahmatullah

Konsultan Hukum dan Dosen Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta